KitaIndonesia.com, Denpasar, Sebentar lagi kita akan memperingati Hari Puputan Margarana. Sebuah pertempuran heroik dsampai titik darah penghabisan oleh pejuang kemerdekaan RI yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai pada 20 November 1946 di sebuah areal ladang jagung di Desa Marga, Tabanan.
Saat itu I Gusti Ngurah Rai masih terbilang belia. Terlahir pada 30 Januari 1917, usianya baru 29 tahun saat gugur dihujani peluru dan bombardir dari pesawat milik tentara sekutu.
Latar Belakang Perang Puputan Margarana
Pada 2 dan 3 Maret 1946, sekitar 2.000 tentara Sekutu yang dimotori oleh Belanda mendarat di Bali. Belanda merancang skenario untuk menjadikan Bali sebagai bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT).
I Gusti Ngurah Rai mengetahui Belanda yang membonceng Pasukan sekutu mulai memasuki Bali dengan segera membentuk pasukan bernama Ciung Wanara.

Belanda telah mengetahui kemampuan militer I Gusti Ngurah Rai tidaklah main-main, Sebelumnya mereka juga telah mendapat banyak cerita tentang kecerdikan dan kegigihan pasukan I Gusti Ngurah Rai. Beberapa kali pasukan kecil minim persenjataan I Gusti Ngurah Rai berhasil melumpuhkan dan mengalahkan pasukan Jepang yang terkenal bengis di wilayah Asia Pasifik.
Belanda tak heran dengan kemampuan militer I Gusti Ngurah Rai, sebab pangkat militer Letnan Kolonel yang disandangnya awalnya didapat dari karir militer setelah tamat dari Sekolah Militer Belanda Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO).
Daripada kewalahan melawan strategi gerilya pasukan Ciung Wanara, salah satu petinggi militer Belanda, Kapten Konig kemudian berusaha merayu I Gusti Ngurah Rai untuk mengajaknya ikut Belanda, seperti waktu di Prajoda.
“Rai Yang Budiman.
Kami, Letnan Kolonel Termeulen dan saya (kamu tentu masih ingat kepada kami), mengetahui betul atas dorongan apa kamu terpaksa mau memimpin TKR.
Kami ingin sekali berbicara padamu. Cobalah mencari hubungan dengan Kapten Cassa di sekitar desa Plaga, kemudian di sana kita bisa bicara.
Apapun keputusanmu setelah pembicaraan itu, kamu dengan penuh kebebasan dapat menentukannya kepada kamu suka,”
Demikian tulis Kapten Infanteri JBT Konig dalam suratnya di Denpasar, 13 Mei 1946, seperti dikutip Nyoman Pendit.
Namun balasan surat dari I Gusti Ngurah Rai jauh diluar dugaan Belanda. Bukan ditujukan untuk bekas atasannya, tapi kepada Letnan Kolonel Termeulen pada 18 Mei 1946.
“Merdeka. Surat telah kami terima dengan selamat.
Dengan ini kami sampaikan jawaban sebagai berikut:
Tentang keamanan di Bali adalah urusan kami.
Semenjak pendaratan tentara tuan, pulau (Bali) menjadi tidak aman. Keamanan terganggu, karena tuan memperkosa kehendak rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya.
Soal perundingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin di Jawa. Bali bukan tempatnya perundingan diplomatik. Dan saya bukan kompromis.
Saya atas nama rakyat Bali hanya menghendaki lenyapnya Belanda dari Pulau Bali atau kami sanggup dan berjanji bertempur terus sampai cita-cita kami tercapai.
Selama tuan tinggal di Bali, pulau Bali tetap menjadi belanga pertumpahan darah antara kami dengan pihak tuan,”

Partai Buruh : Isi Surat I Gusti Ngurah Rai masih relevan di era kini
Partai Buruh Exco Provinsi Bali Yuanpriana Sukariadha, S.H. secara tegas menyampaikan bahwa semangat juang I Gusti Ngurah Rai seperti yang tersirat dalam surat saktinya kepada Letkol. Termuellen masih sangat relevan untuk diteladani sepanjang masa.
“Jika kita membaca isi surat sakti tersebut ada beberapa moral perjuangan yang bisa kita teladani dan masih sangat relevan pada era kini,” Tegas Yuan yang berprofesi sebagai seorang advokat.
Nilai moral perjuangan yang diwariskan I Gusti Ngurah Rai disebutkan oleh Yuan diantaranya :
1. Loyalitas harga mati pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
I Gusti Ngurah Rai memilih bertempur sampai mati daripada menerima ajakan untuk mendukung Belanda mewujudkan Negara Indonesia Timur. Padahal jika mau, pastilah I Gusti Ngurah Rai mendapat jabatan terhormat serta fasilitas mewah dari Belanda.
2. Dalam pandangan I Gusti Ngurah Rai kehadiran Belanda di Bali telah membuat keamanan tergganggu dan telah memperkosa kehendak rakyat Bali.
Dalam era kekininian, kita masih melihat adanya praktek pemerkosaan kehendak rakyat, gangguan keamanan termasuk didalamnya korupsi yang menyengsarakan rakyat.
“Kita tidak lagi melawan bangsa lain, atau melawan pemerintahan. Namun praktek penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum pejabat yang membuat rakyat menderita harus kita lawan dengan semangat puputan”, ujar Yuanpriana dengan bersemangat.
Untuk itu Yuanpriana selaku pimpinan Partai Buruh Bali menyerukan agar generasi muda Bali mampu menghayati surat sakti I Gusti Ngurah Rai dan menjadikan pedoman dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
“I Gusti Ngurah Rai belum mencapai usia 30 tahun, namun dengan gagah berani bertempur sampai titik darah penghabisan karena didasari oleh sebuah nilai moral. Jangan sampai perjuangan beliau sia-sia. Mari kita junjung dan kita hayati semangat perjuangan Puputan Margarana,” tutup Yuanpriana Sukariadha.
